Pada 1960, hampir lima puluh tahun silam, industri pesawat terbang
mengalami ketakutan dari sebuah ketidakpastian. Ketakutan itu berawal
dari sering terjadinya musibah pesawat terbang karena kerusakan
konstruksi yang tidak terdeteksi, yaitu kelelahan (fatique) pada
bodi pesawat. Masih belum tersedianya peralatan canggih—seperti pemindai
sensor laser yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi
persoalan rawan ini—adalah salah satu faktor yang mendukung kesulitan
itu.
Biasanya titik rawan kelelahan ini terjadi di
sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang, atau antara sayap dan
dudukan mesin. Sebab elemen inilah yang secara terus-menerus mengalami
guncang keras, baik ketika sedang take off maupun landing. Ketika take off, sambungannya menerima tekanan udara (uplift)
yang besar. Ketika menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung
empasan tubuh pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari
keretakan (crack). Pada awalnya retakan itu cuma berukuran 0,005
milimeter, akan tetapi itu terus merambat. Setiap hari semakin memanjang
dan bercabang-cabang. Kalau secara dini tidak terdeteksi, bisa
berakibat fatal, karena sayap pesawat bisa patah tanpa diduga-duga.
Tentunya hal itu menjadi perhatian dunia penerbangan, apalagi saat itu
mesin-mesin pesawat juga mulai berganti dari propeller ke jet. Potensi fatique makin besar.
Biografi BJ Habibie
Ketika itulah seorang anak muda bernama Bacharuddin Jusuf Habibie datang menawarkan solusi. Habibie-lah yang selanjutnya menemukan bagaimana rambatan titik crack itu bekerja, yang kemudian dikenal dengan nama teori crack progression. Dengan teorinya, Habibie berhasil menghitung crack
itu dengan rinci sampai pada hitungan atomnya. Tentunya teori ini
membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa menghindari risiko pesawat
jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya lebih mudah dan murah. Dengan
ditemukannya teori crack progression atau lebih dikenal dengan Faktor Habibie,
porsi rangka baja pesawat bisa dikurangi dan diganti dengan dominasi
alumunium dalam bodi pesawat terbang. Di samping itu bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) sampai 10 persen dari bobot konvesionalnya.
Faktor Habibie ternyata juga memiliki peran dalam pengembangan teknologi
penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan
badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan
tekanan udara ketika pesawat take off. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun.
Pendidikan dan Karier Habibie
Riwayat keilmuan Habibie dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Technische Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada 1956. Selama setahun sebelumnya, Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB. Selepas mengantongi gelar diploma ingenieur
jurusan konstruksi pesawat terbang, tahun 1960, sambil melanjutkan
kuliahnya, ia menjadi asisten Riset Ilmu Pengetahuan Institut Konstruksi
Ringan di kampusnya. Di Jerman ia juga bekerja di HFB (Hamburger Flugzeugbau).
Di perusahaan ini, ia ditugaskan memecahkan persoalan menyangkut
kestabilan konstruksi di bagian pesawat terbang F 28 yang saat itu
sedang dikembangkan. Mulai dari bagian bawah hingga ke ekor pesawat.
Padahal sudah meriset selama tiga tahun, perusahaan itu belum mampu
memecahkan persoalan penstabilan konstruksi di bagian ekor pesawat.
Namun, ketika dipegang Habibie, hanya dalam tempo 6 bulan saja masalah
itu berhasil dipecahkan. Kemudian, HFB menyerahkan tugas baru kepadanya,
yakni memecahkan persoalan yang menyangkut konstruksi gantungan mesin
di bagian belakang dari pesawat terbang eksekutif yang dikenal dengan
nama HFB 320. Tujuh bulan setelahnya, persoalan itu dapat dirampungkan.
Tugas-tugas dalam penelitian itulah yang terus-menerus ditekuninya, yang
kemudian menghasilkan rumusan-rumusan asli di bidang termodinamika,
konstruksi, aerodinamika, dan keretakan. Penemuan-penemuan tersebut
sudah diabadikan berbagai pihak, yang berhubungan dengan konstruksi
pesawat terbang dikenal dengan teori Habibie, faktor Habibie, dan metode Habibie. Selama bekerja di perusahaan itu, BJ Habibie memang menggunakan kesempatan untuk mengetahui persoalan sampai sedetail-detailnya.
Namun, kita sendiri tahu, meskipun memiliki segudang prestasi dan
intelektualitas yang mumpuni, Habibie yang lahir di Pare-pare 25 Juni
1936 ini justru tidak mengabdi di negaranya sendiri. Ia malah hengkang
ke negeri Jerman. Medio 2000, bersama Hasri Ainun (istrinya), Habibie
tinggal di rumah pribadinya yang luas di Kakerbeck, sebuah kota kecil 60
kilometer dari Hamburg. Di negeri orang, Habibie menjadi figur yang
sangat dihormati. Di Jerman, namanya dikenal luas orang kebanyakan.
Bahkan, setiap rombongan turis yang melintasi rumahnya di Kakerbeck,
diperkenalkan oleh para pemandu-pemandu wisata sebagai "rumah Presiden RI ke-3 dan pakar pesawat terbang terkemuka.
Sumber : http://www.dbiografi.com/2013/11/biografi-bj-habibie-mr-crack-penemu-teori-crack-propagation-on-random.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar